Oleh: Iman Saiful Mu’minin
Sebelum membicarakan tentang wawasan seni Islam, seperti kaligrafi, musik, seni rupa, sastra, dan lainnya, jika dihubungkan dengan agama, ada baiknya terlebih dahulu kita hendak melihat secara umum adanya interaksi dan reaksi antara agama dengan kesenian. Sebab hal ini menyangkut langsung ekspresi seorang seniman muslim, yang tentu masih memiliki setumpuk pertanyaan dalam batinnya: apa sebenarnya hukum berkesenian yang berhubungan dengan Islam, dan apakah agama mendukung atau memasung kebebasan berekspresi dalam seni tersebut. Dalam sejarah tentang kesenian Islam, orang, terutama para ulama, sering beraneka ragam dalam memberikan interpretasi hukumnya. Bahkan ada pula sebagian orang yang beranggapan, bahwa seni dan kreativitas itu berada di atas segalanya; seni untuk seni, kenapa harus ada pemasungan kebebasan berekspresi.
Adalah buku The Culture Side of Islam, mengungkapkan sekilas cerita, seperti dikutip oleh Ali Audah (Ali Audah, Dari Khazanah Dunia Islam, h. 10), bahwa Pers Inggris pernah mengadakan suatu diskusi yang intinya: andaikata ada patung Yunani yang sangat indah dan terkenal, dan itu hanya satu-satunya, tak dapat diganti oleh patung yang lain. Patung tersebut berada dalam sebuah kamar bersama-sama dengan seorang bayi mungil yang masih hidup. Kamar itu terbakar. Yang masih diselamatkan hanya satu dari dua: patung atau bayi. Mana yang harus diselamatkan? Dari para peserta yang banyak sekali itu, yang terdiri dari kaum intelektual dan orang-orang berkedudukan tinggi, memilih patung itulah yang harus diselamatkan, dan membiarkan si bayi di makan api. Argumen mereka: bayi-bayi itu lahir jutaan banyaknya setiap hari, sementara patung itu merupakan masterpiece sebuah karya seni Yunani kuno yang tak mungkin lagi ada gantinya.
Dengan gambaran singkat di atas, jelas bagi kita bagaimana sikap seorang muslim menghadapi kesenian. Hati nuraninya akan bicara sendiri sesuai dengan keimanannya. Oleh karena seni berkaitan dengan keindahan, ia merupakan ekspresi ruh dan budaya manusia yang mengandung dan mengungkapkan keindahan. Rasa indah terhadap sesuatu merupakan naluri atau fitrah manusia yang dianugerahkan Allah kepada hamba-Nya. Dan hal ini mustahil bila Allah yang menganugerahkan manusia potensi untuk menikmati dan mengespresikan keindahan, kemudian Dia melarangnya.
Bahkan Imam Ghazali sendiri dalam kitab Ihya Uumudin, menyatakan bahwa siapa saja yang tidak berkesan hatinya di musim berbunga dengan kembang-kembangnya, atau oleh alat musik dan getaran nadanya, maka fitrahnya telah mengidap penyakit parah yang sulit diobati.
Masalah keindahan (estetika) memang merupakan masalah selera dan intuisi. Setiap orang memiliki rasa keindahannya sendiri yang tidak dapat dipaksakan kepada orang lain atau dilarang, seperti halnya rasa cinta kepada sesuatu. Melainkan, bahwa Islam lahir pertama-tama bukan untuk membawa konsep kesenian, tapi terlebih tentang moral yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan agama. Pada dasarnya kreativitas itu tidak dapat dibatasi selain oleh hati nurani manusia. Dan hati nurani inilah yang disebut moral, atau dalam ajaran Islam disebut akhlak (etika). Ali Audah, seorang budayawan muslim, mengatakan bahwa istilah moral atau etika yang didasarkan pada ajaran filsafat, pada dasarnya berbeda dengan akhlak yang didasarkan pada ajaran agama. Yang pertama berpangkal pada otak dan alam pikiran, sementara yang kedua berpangkal pada hati nurani manusia. Perbandingan keduanya telah digambarkan di awal tulisan ini mengenai cerita sebuah patung dan seorang bayi mungil.
Dus, dalam lapangan seni Islam ini, kita boleh menampilkan (mengekspresikan) seni dan memilih objek. Kita boleh menggambarkan kenyataan hidup dalam masyarakat di mana kita berada. Kita boleh memoleskannya dengan apa aja, boleh berimajinasi, karena lapangan seni Islam adalah semua wujud. Namun semua itu dengan catatan: jangan sampai seni yang kita tampilkan bertentangan dengan fitrah atau pandangan Islam tentang wujud itu sendiri. Jangan sampai, misalnya, pemaparan tentang manusia hanya terbatas pada jasmaninya semata. Atau yang ditonjolkan hanya manusia dalam aspek debu tanahnya, tidak disertai dengan unsur ruh Ilahi yang menjadikannya sebagai manusia. Jika catatan ini direspon dengan baik, maka pada saat itu pula seni telah mengayunkan langka untuk berfungsi sebagai sarana dakwah (Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran)
Sebagai catatan akhir dalam tulisan ini, seni Islam selama bertujuan untuk kebaikan (ma’ruf) dan sejalan dengan pandangan Islam yang menyangkut wujud alam raya ini, tidak ada seorang pun melarangnya.
Posting Komentar